Minggu, 14 Juni 2015

POSTER PARIWISATA SIBOLGA


Tata Ruang Pariwisata



TATA RUANG PARIWISATA
Perencanaan tata ruang pariwisata (tourism spatial planning) tampaknya kalah perhatian  terhadap pemahaman tentang pariwisata sebagai industri dan bisnis, sebagai sumber devisa, dan lainnya. Tourism planning sendiri pun masih relatif baru. Menurut sejarahnya di berbagai negara maju, perkembangan pariwisata diawali dengan tumbuhnya hotel dan penginapan untuk melayani pelaku perjalanan. Ada yang didirikan di sepanjang pantai untuk akomodasi wisatawan yang akan menikmati keindahan alam dan rekreasi pantai, ada pula hotel yang dibangun di lokasi strategis untuk akomodasi pelaku perjalanan yang perlu transit (singgah) sebelum sampai ke tujuannya(Parma, 2013).
Di tengah tuntutan yang semakin tinggi terhadap perlunya peningkatan kinerja sektor pariwisata agar dapat memenuhi pencapaian target-target ekonometrik, terasa bahwa pembenahan sumber daya manusia dan birokrasi belum kuat disuarakan. Terdapat kesan yang cukup menonjol bahwa perhatian kita terutama masih bertumpu pada aspek kuantitatif, yakni seberapa besar devisa, kesempatan kerja, kunjungan wisatawan dan sebagainya, sementara aspek kualitatif yang antara lain dilihat dari perubahan positif mutu sumberdaya manusia cenderung diabaikan. Hal ini sebenamya bertentangan dengan tujuan logika yang mendasari pembangunan pariwisata itu sendiri, bahwa target-target ekonomi tersebut hanya dapat dicapai jika persoalan sumberdaya manusia lebih dulu ditangani.  Oleh karena itu pembicaraan tentang masalah pengembangan sumber daya manusia pariwisata, apalagi dalam konteks perdagangan bebas, seharusnya juga diarahkan pada pembenahan sumberdaya manusia di tingkat birokrasi. Berbagaikajian menunjukkan bahwa salah satu titik lemah pembangunan sektor pariwisata kita terletak pada kemampuan birokrasi yang jauh dari memadai, baik untuk menyusun perencanaan pengembangan program kepariwisataan, regulasi, sampai koordinasi lintas-sektoral. Keterbatasan seperti ini jelas tidak akan mampu menghasilkan produk wisata yang berdaya saing tinggi di pasar internasional. Pemerintah Indonesia melalui amanat Garis-garis Besar Haluan Negara  (GBHN) mengharapkan sektor pariwisata dapat memainkan peran strategis sebagaisumber pendapatan dan devisa nasional, pencipta kesempatan kerja dan berusaha, sekaligus sebagai media untuk melestarlkan nilai-nilai budaya. Dalam aras ini, pembangunan pariwisata terutama dilihat sebagai penggerak mesin ekonomi: pengumpul devisa, juru selamat dan paspor pembanguna. Banyak studi menunjukkan bahwa pariwisata memainkan peranan yang sangatpenting dalammeningkatkan pendapatan pemerintah dan memiliki dampak ekonomi yang positif di beberapa negara(Kusworo & Damanik, 2002).
Esensi pengaturan alih fungsi lahan dalam perspektif tata ruang adalah bahwa aturan perundang-undangan sangat menentukan terhadap alih fungsi lahan, dengan adanya pengaturan berupa undang-undang tentang tata ruang dan sebagainya diharapkan supaya alih fungsi lahan untuk pembangunan pariwisata harus berbasis lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara merata, alih fungsi lahan untuk pembangunan pariwisata harus mengacu kepada tata ruang yang sudah ditentukan oleh pemerintah, jadi pengaturan tersebut sangat esensial guna memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara merata. Syarat-syarat penetapan mekanisme alih fungsi lahan atau perizinan untuk pembangunan sarana prasarana pariwisata masih banyak dilanggar atau belum efektif, masih banyak para investor yang melanggar syarat-syarat dan mekanisme perizinan sehingga penegakan hukum belum efektif(Zubaedi, 2014).






Daftar Pustaka